Kamis, 23 Desember 2010

mohon di share

yang membuat saya bingung adalah apakah seorang muslim harus ikut-ikutan merayakan hari raya natal yang jatuh pada tanggal 25 desember?
kalau tidak boleh hukumnya apa?
dan ganjarannya itu seperti apa?

Jumat, 17 Desember 2010

ADMINISTRASI NEGARA: DISIPLIN YANG TRANSPARAN

Pengantar

Belajar dari pengalaman, orang dapat membangun suatu “teori”. Dengan membaca peristiwa “alamiah”, orang dapat mengambil kesimpulan tunggal (misalnya,”perusahaan kecil umumnya dikelola secara amburadul” )maupun kesimpulan kausal (“perusahaan kecil dikelola secara amburadul”, sehingga daya saingnya rendah “atau” perusahaan kecil dikelola secara amburadul, karena pengetahuan manajerial pengusahanya terbatas” ). Kesimpulan kausal inilah yang disebut sebagai teori.

Sebaliknya, setiap peristiwa dapat dilihat dengan berbagai macam cara melihat dan pada berbagai macam sisinya. Bagaimana cara pandang seseorang terhadap suatu peristiwa dan sisi apa yang dipilih untuk dipandangnya adalah persoalan hak: tiap orang boleh memandang dengan cara begini-begitu, dan boleh memandang sisi ini-itunya. Orang yang merelakan dirinya untuk dengan fanatik hanya memandang suatu peristiwa dengan satu cara tertentu yang ketat, dan apalagi memilih untuk hanya mengamati sisi tertentu, pada akhirnya akan berhimpun dengan orang-orang sejenis dalam suatu masyarakat disiplin ilmu.

Jika terhadap peristiwa amburadulnya pengelolaan perusahaan kecil di atas anda “tertarik” untuk memahaminya sebagai rendahnya semangat berusaha pengusaha dalam hubungan dengan lemahnya motif berprestasi mereka maka anda berada dalam “disiplin” psikologi. Anda mengamati peristiwa tersebut sebagai gejala psikis. Jika anda memandang peristiwa itu sebagai manajemen perusahaan yang amburadul yang memperlemah daya saingnya, yang menurunkan omset penjualannya, yang memperkecil keuntungungannya, yang mempersempit peluang berkembangnya usaha, maka anda melakukan pengamatan tersebut dalam disiplin ekonomi. Fakta amburadulnya pengelolaan perusahaan kecil itu, dengan demikian, dapat dipandang sebagai realitas psikis, dapat pula dipandang sebagai realitas ekonomis.

Jika kita memandang peristiwa atau fakta penggusuran tanah tempat tinggal dan tempat usaha penduduk termiskin di suatu kota sebagai pelanggaran atas atau tak terpenuhinya aturan pembebasan tanah, atau tak sempurnanya peraturan-peraturan tentang tanah, maka kita sedang mengangkat gejala atau realitas hukum. Jika kita pandang peristiwa itu pada sisi protes-protes (jika bukannya radikalisme) yang dilancarkan penduduk,maka kita bisa mengatakan bahwa penduduk yang tanahnya tergusur itu tidak memiliki wewenang atau kekuasaan membuat keputusan, atau tidak memiliki wakil yang memperjuangkan aspirasi mereka di dalam kotak hitam konversi pembuatan kebijakan di kota itu. Jika demikian halnya, maka kita mengangkat peristiwa penggusuran tanah tersebut sebagai realitas politik. Lebih lanjut, jika kita mengamati peristiwa itu sebagai telah memudarnya peran pemimpin informal dalam mengarahkan perilaku dan perkembangan masyarakat, maka anda sedang membicarakan realitas sosiologis.

Jika sasaran bidik kita adalah “binatang besar” Negara, maka konsekuensinya adalah kita harus memanfaatkan berbagai macam teori dari berbagai macam “disiplin” berikut ini. Teori-teori yang diciptakan dalam disiplin filsafat dan politik dapat digunakan untuk memahami dan kemudian menjelaskan kepada Negara (dengan segala personifikasinya) mengintervensi lingkungannya. Selain itu proses kebijaksanaan dan peran pejabat atau pegawai pemerintah di dalamnya kiranya dapat dijelaskan dalam kerangka teori-teori politik.peristiwa penyusunan anggaran Negara juga dapat dilihat sebagai realitas politis, selain sebagai realitas ekonomis. Selain itu ketika mengamati penentuan kebijakan Negara (untuk public atau lingkungan) tersebut kita dapat meminjam teori-teori psikologi. Dengan kata lain, peristiwa penentuan kebijaksanaan oleh “seorang” pejabat pemerintah adalah untuk sebagian realitas psikologis. Bukanlah “perilaku” adalah konsep yang dikenal sebagai milik psikologi?

Kebijaksanaan membawa konsekuensi pada tersusunnya aturan-aturan (jika bukannya program kerja), dan pengimplementasian kebijaksanaan tersebut. Kedua konsekuensi ini berpotensi untuk disamping terpenuhinya tuntutan-tuntutan dan tercapainya tujuan-tujuan lingkungan dan Negara juga berpotensi untuk menimbulkan penyimpangan-penyimpangan. Kedua potensi ini, terutama dan terutama potensi ke-dua, jika telah meledak sebagai sebuah peristiwa akan dapat dipahami tidak saja sebagai realitas hokum, melainkan juga realitas-realitas ekonomis, politis, sosiologis, budaya, dan lain-lain.

Sebagai “harapan” terakhir barangkali adalah reformasi administrasi yang dilakukan oleh pemerintah untuk menanggapi perubahan lingkungan dalam arti berubahnya tuntutan masyarakat maupun berubahnya tujuan-tujuan taktis Negara. Sebagai realitas apakah reformasi administrasi ini? Sangat sukar untuk menyebutnya sebagai realitas administrasi Negara, karena kita akan selalu mengamati peristiwa ini dengan terminologi efektivitas dan efisiensi yang siapapun orangnya akan menganggap itu sebagai milik ekonomi; kepuasan, semangat dan disiplin kerja yang siapapun orangnya akan menganggap itu sebagai milik psikologi; dan partisipasi lingkungan yang dianggap sebagai milik politik dan sosiologi. Setiap aktivitas analisis dilakukan oleh seseorang dalam posisinya sebagai orang luar. Dalam posisi inilah “Negara” tampak berperilaku dengan mempekerjakan segala macam variable dari segala macam teori dari segala macam disiplin. Dengan pemahaman yang sedikit berbeda, dapat dikatakan bahwa tingkah laku di dalam berbagai sisi Negara dapat ditangkap sebagai bermacam realitas. “belajar tentang administrasi Negara” atau “menganalisis administrasi Negara” akan menghasilkan teori-teori untuk berbagai disiplin. “administrasi Negara”, dengan demikian, bukanlah disiplin. “ia” bukan realitas, melainkan sebuah peristiwa besar. Untuk memahami”nya” orang dipaksa untuk bermulitfaset: meminjam instrumen-instrumen semua disiplin.

Penganalisisan perilaku (administrasi) Negara (publik) tidak saja menghasilkan penjelasan. Misi dari kegiatan terakhir kegiatan ini adalah keluar dari siat tradisional ilmu,masuk ke sifat politis memberika rekomendasi tentang bagaimana sebaik dan selayaknya (administrasi) Negara (publik) itu berperilaku dan diperlakukan. Pada level makro, rekomendasi tersebut diajukan kepada presiden dan actor-aktor politik nasional lain. Pada level mikro, rekomendasi tersebut dipersembahkan kepada para direktur dan kepala biro departemen-departemen pemerintah; atau pada tingkat akar (ranting?) untuk para pemimpin proyek (baca: kegiatan mengubah lingkungan). Agar bisa memberikan rekomendasi yang “baik”, maka seorang analisis Negara seyogyanya mampu berempati sebagai penerima rekomendasi. Karena para (calon) penerima rekomendasi tersebut adalah “pemimpin” atau “manajer” atau “administrator”, maka dalam kerangka pikir orang-orang itulah analisis rekomendasi disusun. Dan, pemimpin yang “baik” adalah pemimpin yang arif: mampu memilih mana yang baik dan benar, serta mana yang layak dan dapat dilakukan.

Rekomendasi

1. Untuk bisa memberikan rekomendasi yang layak dan dapat dilakukan, maka setiap pengamatan Negara pada berbagai level analisisnya perlu mengenal (jika bukannya menguasai) dan mengetahui penggunaan instrument-instrumen dari setiap disiplin ilmu.

2. Untuk bisa memberikan rekomendasi yang benar dan baik, maka tiap mahasiswa administrasi Negara harus berani untuk selalu bertanya dan mempertanyakan ulang: apa sih “manusia” dan “dunia” (itu)?

Wibawa, Samodra H., Reformasi Administrasi,Yogyakarta:Gava Media,2005